2. 11 raka’at dengan witir
Sebagian
ulama’ berpendapat bahwa jumlah raka’at Tarawih adalah 8 raka’at dengan 3
raka’at witir. Pendapat ini berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut :
· Hadits
yang riwayat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata :
َانَ النَّبِيُّ r
يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشَرَةَ رَكْعَةً يُوْتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ
لاَ يَجْلِسُ فِيْ شَيْءٍ مِنْهُنَّ إِلاَّ فِيْ آخِرِهِنَّ
“Nabi Saw
biasanya shalat malam tiga belas rakaat, termasuk di dalamnya witir dengan
lima rakaat tanpa duduk di salah satu rakaat pun kecuali pada rakaat terakhir.”
(Hadits Muttafaq alaih).
· Hadits
dari Jabir bin ‘Abdillah ra. beliau menuturkan, “Rasulullah Saw
pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu
beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kami pun berkumpul di masjid sambil berharap
beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu
fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat
bersama kami.” Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya
shalat tersebut menjadi wajib bagimu.” (HR. Ath Thabrani, Ibnu Hibban dan
Ibnu Khuzaimah)
· Dari
Ibnu ‘Abbas ra., beliau berkata, “Shalat Nabi Saw di malam hari adalah 13
raka’at.” (Mutafaqun ‘alaih).
Kami tidak mengetahui
adanya para ulama yang berpendapat secara tegas mengatakan bahwa shalat Tarawih
11 raka’at kecuali Bin Baaz, Nashirudin al Albani dan sebagian ulama su’udiyyah.
Sebagaimana al Albani berkata: “(Jumlah) rakaat (shalat
tarawih) adalah 11 rakaat, dan kami memilih tidak lebih dari (11 rakaat) karena
mengikuti Rasulullah, maka sesungguhnya beliau tidak melebihi 11 rakaat sampai
beliau wafat.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 22)
3. 36
raka’at
Ternyata
ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Tarawih boleh dikerjakan dengan
bilangan yang banyhak, yaitu sampai 36 raka’at. Disebutkan dalam beberapa kitab bahwa di masa
Umar bin Abdul Aziz, kaum muslimin shalat tarawih hingga 36 raka’at ditambah
witir 3 raka’at.
Jumlah
Tarawih dengan bilangan 36 raka’at ini adalah pendapat sebagian Malikiyyah.
Dalilnya,
karena golongan ini menganggap bahwa :
1. Rakaat
Tarawih tidak berbilang
2. Amalan
ahlu madinah adalah dijadikan hujjah dalam mazhab Maliki
Adapun
bilangan 36 rakaat itu memiliki sebab sebagaimana yang disebutkan Imam syafi’i,
ia berkata : Penduduk Madinah terawih 36 raka’at karena penduduk Makkah yang
Tarawih 20 raka’at mereka melakukan Thawaf setiap antara 2 raka’at 7 putaran. Maka
penduduk madinah menjadikannya (36 raka’at) untuk menyamai penduduk Makkah.
Lantas, bagaimana kesimpulannya ?
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan dan sekaligus diambil langkah -langkah dalam menyikapinya sebagai berikut :
1. Pendapat
yang paling kuat tentang jumlah rakaat shalat Tarawih adalah 20 rakaat. Inilah
yang dipilih oleh ulama’ Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah Ia
telah menjadi pendapat jumhur ulama’. Dan tentunya shalat Tarawih terbaik
adalah yang mengikuti pendapat ini. Yang tentunya dengan catatan shalatnya dikerjakan
dengan tuma’ninah. Sebagaimana kata tarawih itu berasal dari kata ‘rawaha’ yang
artinya istirahat, jadi dilakukan dengan tenang dan khusyu’. Tidak dilakukan dengan kebut-kebutan seperti
dikejar setan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan terkadang
yang shalat 23 raka’at ini lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini
sungguh suatu kekeliruan yang nyata. Paling ideal shalat ini mungkin memakan
waktu diatas satu jam, bahkan lebih. Seperti semasa kami di al Azhar yang satu
raka’atnya imam membaca 1 halaman. Begitu 20 raka’at pas 1 juz, dalam satu
bulan khatamlah al Qur’an. Tetapi waktu yang lama itu tetap terasa nikmat,
karena memang ada semangat dan niat kuat menghidupkan malam ramadhan. Tidak
diburu-buru dengan nafsu berbuka yang belum terlampiaskan. Dan memang
selain itu faktor pendukungnya ada yang membuat kerasan di masjid, diantaranya adalah
para imam shalatnya memang meiliki suaranya indah lagi fasih.
2. Yang
kedua, jika memang masjid ini ditengah mmasyarakat umum yang masih awam, yang
nilai-nilai keislaman belum tertanam baik. Ada baiknya imam mempertimbangkan
kondisi ini, jangan gara-gara di patok 23 raka’at jama’ah juma betah 3 hari,
setelah itu bubar nga ada yang ke masjid. Mungkin ada baiknya shalat dikerjakan
dua edisi, setelah isya 8 atau 10 raka’at, nanti tengah malam atau pas waktu
syahur diadakan lagi.
Nah, yang
kayak gini kayaknya belum ada nih yang mencoba di indonesia. Apa sebabnya ? ya
karena kita terlalu terpaku beku ribut masalah 11 atau 23 raka’at, padahal ada
solusi yang bisa ditempuh untuk mengkompromikan antara 11 dengan 23, antara terlalu
nyantai dengn yang terlalu tergesa-gesa. Bukankah di dalam hadits telah
disebutkan bahwa para sahabat shalat bersama Rasulullah dan kemudian
menggenapinya dirumah masing-masing?
Demikian juga Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan
memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi Saw sehingga tidak boleh lebih
atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.”
3.
Nah yang terakhir, bagi masjid
yang merupakan masjid para pekerja, semisal area tambang. Mungkin lebih baik
untuk menggunakan yang 8 raka’at saja. Bisa langsung ditutup witir tetapi bila ada
dugaan kuat, para jama’ah masih mampu untuk mengerjakan tambahannya di malam
hari, lebih baik witir ditunda.
Akhir kata kita harus ingat, bahwa bilangan raka’at Tarawih ini adalah perkara
yang diikhtilafkan oleh para ulama. Sikap yang tidak bisa menerima perbedaan dalam
masalah khilafiyyah - baik karena tidak tahu, tidak mau tahu atau
pengetahuannya yang keliru – adalah penyakit yang membahayakan umat. Yang harus
segera dibasmi bahkan diamputasi dari tubuh umat islam. Tarawih bukanlah ibadah
wajib, ia hanya sunnah, jangan sampai dipersulit hukumnya dan dipersusah pelaksanaannya
- Meskipun bukan berarti kita boleh
meremehkan sesuatu hanya karena bersetatus sunnah.
"Sesungguhnya
Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku
dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku." (QS. Thaha: 14)
Wallahu
a’lam.