Thursday 22 October 2015

HUKUM MENGADZANI TELINGA BAYI




Alhamdulillhirobbil 'alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, serta sholawat dan salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW. 



Apa hukum mengadzani ditelinga bayi ? karena saya pernah mendengar salah satu ustadz mengatakan bahwa ini perkara yang lemah dan tidak ada contoh yang kuat dari Nabi Muhammad..

1.  Pendapat yang mensunnahkan


            Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan Mazhab Syafiiyah, Hanabilah, dan sebagian riwayat menyebutkan juga pendapat Hanafiyah.

 Mazhab Syafi’i
            Al Imam an-Nawawi rahimahullah, tokoh ulama madzhab asy-Syafi’i berkata :  “ Berkata sekelompok ulama dari sahahabat-sahabat kami ( ulama Syafi’iyyah), disukai untuk diadzani di telinga kanan dan diiqamahi di telinga kiri bayi yang baru dilahirkan.[1]
            Penegasan pendapat tentang kesunnahan  adzan di telinga bayi masih banyak lagi bertaburan dalam kitab-kitab mazhab syafi’i lainnya, diantaranya : 
Al-Muhadzab (1/438) :  “ Disunnahkan bagi orang yang baru kelahiran  anak untuk mengadzani di telinga bayi tersebut”.
Kifayat al-Akhyar (2/224) :  “ Disunnahkan untuk diadzani di telinga kanannya dan diiqamati disebelah telinga krinya”.
Al-Bujairimi ‘ala al-Khathib  (4/308) : “ Disyari’atkan adzan di telinga kanan bayi yang baru dilahirkan dan diiqamati di telinga sebelah kiri”

Mazhab Hanbali
         Dalam kitabnya Tuhfatul maudud bi ahkamil maulud al imam Ibn Qayyim rahimahullah  dengan tegas berpendapat bahwa adzan pada telinga bayi adalah disunnahkan. Bahkan dalam kitab tersebut, beliau membuat bab khusus :  “Bab IV mengenai disunnahkannya adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri”.
            Sedangkan Ibnu Qudamah al Hanabilah berkata,  “Sebagian ahli ilmu berpendapat hukumnya mustahab (disukai) bagi seorang ayah untuk mengumandangkan adzan di telinga anaknya ketika baru dilahirkan.

Mazhab Hanafi
            Kalangan ulama Al-Hanafiyah menuliskan masalah adzan kepada bayi ini dalam kitab-kitab fiqih mereka, tapi tanpa menekankannya.2. Pendapat Yang menolak
Mazhab  Malikiyah
            Pendapat ini diketahui sebagai pendapat resmi mazhab ini, dalam sebuah kitab Malikiyah dikatakan,  “ Imam Malik mengingkari perbuatan mengadzani di telinga bayi ketika dilahirkan.”[2]
Bukankah Hadits Adzan Bayi Itu Tidak Shahih?
            Dalam kitab-kitab fiqh yang tebal dan berjilid-jilid dari berbagai madzhab, hampir semuanya berpendapat tentang kesunnahan adzan untuk bayi yang baru lahir. Sebagian kitab memang menyertakan dalil hadist. namun, kualitas hadis-hadis tersebut kurang dijelaskan oleh banyak penulisnya, sampai sejauhmana kekuatan hadis tersebut untuk dijadikan hujjah. 
Namun satu hal pula yang harus kita ingat, sebuah hadits lemah atau shahih belum cukup dijadikan bahan untuk menyimpulkan sebuah hukum.  Ada begitu banyak proses yang harus dilewati, agar sebuah produk kesimpulan hukum benar-benar bisa ditelurkan. 
Jadi kalau hendak dibuat permisalan, para ulama hadits itu semisal suplayer bahan baku sebuah produk. Sedangkan para ulama Fiqih adalah para pengolah bahan-bahan dari suplayer untuk bisa digunakan oleh para konsumen. 
Belum sampai  ketahap pengolahan, baru dipengadaan barang saja, para suplayer kadang memiliki standar mutu yang berbeda-beda. Kadang sebagian berpendapat barangnya sudah memenuhi standar mutu, sedangkan yang lain mengatakan belum.
Demikian pulalah keadaan hadits. Jangan dikira ulama seiya sekata dalam menghukumi kualitas sebuah hadits. Mereka sudah terbiasa berselisih dalam menilai keshihahan atau kedhaifan sebuah riwayat.
Hadits-hadits tentang mengadzani bayi
Hadits Pertama
رَوَى أَبُو رَافِعٍ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ  أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ
Abu Rafi meriwayatkan : Aku melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam mengadzani telinga Al-Hasan ketika dilahirkan oleh Fatimah. (HR. Tirmidzi) 
Al-Imam At-Tirmizy dan hakim keduanya menegaskan bahwa yang beliau riwayatkan itu adalah hadits hasan shahih.  Demikian juga al Imam Al-Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab (9/348) menshahihkan hadits tersebut 
Hadits kedua
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ
Dari  ‘Ubaidullah bin Abi Rafi’ dari ayahnya ia berkata, “ Aku melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengadzani telinga Hasan bin ‘Ali ketika ia dilahirkan Fathimah dengan adzan shalat”. ( Sunan Abu Dawud : 13/305)
            Berkata al-Mundziri : Hadis tersebut dikeluarkan juga oleh at-Tirmidzi dan ia berkata hasan sahih demikian akhir perkataannya. Dan dalam isnadnya ada ‘Ashim bin ‘Umar bin al-Khaththab. Imam Malik dan Ibnu Ma’in menganggapnya dha’if, hadisnya tak dapat dipakai hujjah, selain keduanya juga membincang (mengkritik) ‘Ashim ini. Abu Hatim Muhammad bin Hibban al-Busthiy juga mengkritik riwayat hadis ini juga selainnya”. [3]
            Demikian juga Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya berpendapat hadits ini lemah.[4]
            Titik kelemahan hadits ini ada pada rawinya yang bernama Ashim bin Umar. Namun Ibnu ‘Adiy berkata, ‘Ashim walaupun iadha’if namun tetap dicatat hadis yang diriwayatkannya. Demikian juga dengan Ahmad bin Abdullah al-‘Ijli menilai tidak apa-apa dengan ‘Ashim.
Hadits ketiga
مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
“Orang yang mendapatkan kelahiran bayi, lalu dia mengadzankan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri, tidak akan celaka oleh Ummu Shibyan.”(HR. Abu Ya’la Al-Mushili)
            Para ulama hadits rata-rata menghukumi hadits ini lemah, seperti  yang dikatakan oleh al-Munawi (Tuhfadz al-Ahwadzi : 4/169) : Isnadnya lemah. Sedangkan syaikh Al-Albani berpendapat bahwa hadits ini palsu (maudhu').
Hadits keempat
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ يَوْمَ وُلِدَ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali pada hari kelahirannya. Beliau adzan di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri.” (HR. Ibnu Hibban)
Hadits ini lemah karena di dalam rawinya da Muhammad bin Yunus. Ahmad bin Hanbal rahimahullah menyatakan bahwa dulunya Muhammad bin Yunus al-Kudaimiy dikenal baik dan haditsnya baik. Tidaklah didapati ada cela darinya kecuali karena ia bersahabat dengan Sulaiman asy-Syaadzakuuniy. (Seseorang yang dikenal gemar memalsukan hadits).[5]

Kesimpulan
1.      Mengadzani bayi yang baru lahir dihukumi Sunnah oleh mayoritas ulama. Ada yang hanya mengadzani saja, ada yang juga mengqamatinya.
2.      Sedangkan sebagian ulama yang lain menghukumi tidak ada kesunnahannya.
3.      Kami melihat – wallahu a’lam - riwayat-riwayat yang ada tentang mengadzani bayi yang baru lahir, sebagian hadits menguatkan sebagian yang lain. Sebagaimana ini adalah pendapat Syaikh Bin Baz dan Syaikh Utsaimin dan guru-guru kami di al Azhar. Sehingga haditsnya minimal berstatus Hasan  lighairihi.
4.      Sehingga mengamalkan adzan untuk bayi yang baru lahir bukanlah amalan bid’ah tanpa dasar. Telah Tsabit adanya dalil meskipun diperselisihkan dan masyhurnya pendapat ulama tentangnya. Hanya saja, tidak mengadzani bayi juga tidak masalah.

Wallahu a’lam.

Sumber: AL-BAYAN (http://ad-dai.blogspot.co.id/)



[1] Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab ( 8/443) .

[2] Mawahib al-Jalil fi Syarh Mukhtashar asy-Syaikh Khalil  ( 3/321).
[3] ‘Aun al-Ma’bud  ( 11/142)
[4] At-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits ar-Rafi’i al-Kabir  (5/384)
[5] Tahdziibut Tahdziib li Ibn Hajar (9/476))

0 comments:

Post a Comment

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 
Powered By Blogger

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Pembaca

Copyright © 2016. Wawasan dan Kisah Islami - All Rights Reserved My Free Template by Bamz